Kritik 24 Tahun: Lubuk Linggau Stagnan, Rakyat Tunggu Gebrakan Yoppi Karim

Catatan Kritis Aktivis : Mirwan Batubara

Pertumbuhan yang bersifat fisikalistik belum sepenuhnya menyentuh dimensi ekonomian rakyat, sosial, dan produktivitas daerah“.

Lubuk Linggau – Dua puluh empat tahun perjalanan Kota Lubuklinggau adalah usia yang cukup matang untuk menilai arah pembangunan daerah ini secara jujur dan rasional.

Di tengah gegap gempita perayaan hari jadi kota, muncul pertanyaan mendasar: apakah Lubuklinggau telah benar-benar tumbuh sebagai kota yang berdaya, atau sekadar berkembang dalam rupa tanpa substansi?Secara kasatmata, Lubuklinggau memang mengalami kemajuan fisik.

Infrastruktur perkotaan berkembang, ruang publik dipercantik, dan konektivitas antarwilayah semakin baik. Namun, di balik itu, terdapat jurang yang masih lebar antara kemegahan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Pertumbuhan yang bersifat fisikalistik belum sepenuhnya menyentuh dimensi ekonomi rakyat, sosial, dan produktivitas daerah.

Pola pembangunan selama dua dekade terakhir tampak masih terjebak pada paradigma infrastrukturisme — seolah pembangunan diukur dari banyaknya proyek yang berdiri, bukan dari perubahan kualitas hidup warga.

Kota ini terlalu lama dirancang untuk “tampak maju”, tetapi belum dirumuskan agar “berdaya saing dan mensejahterakan”.

Perencanaan pembangunan cenderung bersifat seremonial dan jangka pendek. Banyak kebijakan dibuat untuk memenuhi kebutuhan politik tahunan, bukan agenda strategis jangka panjang. Akibatnya, muncul stagnasi kebijakan: kota terus bergerak, tetapi tidak benar-benar maju.

Refleksi 24 tahun ini seharusnya menjadi momentum koreksi total terhadap paradigma tersebut. Kehadiran Wali Kota Yopi Karim membawa ekspektasi baru. Ia memegang mandat untuk menata ulang arah pembangunan dan memulihkan kepercayaan publik terhadap fungsi pemerintah kota sebagai pelayan kepentingan rakyat.

Namun, untuk menjawab harapan itu, Wali Kota Yopi harus berani memutus rantai pola lama: birokrasi yang lamban, proyek tanpa arah, dan kebijakan yang lebih mementingkan pencitraan dari pada dampak.

Lubuklinggau tidak membutuhkan program yang populer, tetapi kebijakan yang produktif, terukur, dan berbasis riset.

Langkah awal yang paling krusial adalah mengembalikan pembangunan pada asas kebermanfaatan publik.

Pemerintah daerah perlu menata ulang tata kelola aset, memperkuat sektor ekonomi rakyat, memperluas lapangan kerja, dan memastikan kebijakan pendidikan serta kesehatan berpihak pada masyarakat kecil.

Salah satu kelemahan utama dalam sejarah pembangunan Lubuklinggau adalah absennya keberanian untuk mengubah orientasi pembangunan dari proyek menjadi sistem.

Pembangunan sering kali berhenti pada wujud fisik, tanpa keberlanjutan manajerial dan sosial. Kritik ilmiah terhadap kondisi ini harus diarahkan pada lemahnya integrasi kebijakan lintas sektor.

Ekonomi, pendidikan, dan tata ruang berjalan dalam relnya masing-masing tanpa koneksi yang kuat. Akibatnya, kota ini kehilangan arah identitas ekonomi yang jelas — apakah akan menjadi kota perdagangan, jasa, pendidikan, atau industri ringan.

Lubuklinggau membutuhkan arah strategis yang berbasis riset dan data. Pemerintah kota harus membuka ruang kolaborasi dengan perguruan tinggi, lembaga riset, dan organisasi masyarakat sipil agar setiap kebijakan memiliki pijakan empiris dan keberlanjutan jangka panjang.

Dua puluh empat tahun adalah usia reflektif — titik di mana kota ini seharusnya berhenti sejenak untuk menilai apa yang telah dicapai dan apa yang masih jauh dari cita-cita.

Lubuklinggau memiliki modal sosial dan geografis yang besar, tetapi potensi itu tidak akan bermakna tanpa kepemimpinan yang berani berpikir di luar kebiasaan.

Kota ini membutuhkan revolusi kebijakan, bukan sekadar rotasi pejabat. Butuh keberanian politik untuk menata ulang arah pembangunan menuju kota yang produktif, berdaya, dan adil bagi semua lapisan masyarakat.

Refleksi 24 tahun Kota Lubuklinggau bukan sekadar catatan sejarah, tetapi ajakan untuk bertindak. Di pundak Wali Kota Yopi Karim kini terletak tanggung jawab besar: membuktikan bahwa perubahan bukan hanya jargon kampanye, tetapi komitmen moral untuk menegakkan keadilan pembangunan.

Rakyat telah cukup lama menunggu. Kini saatnya kota ini bergerak dari euforia ke efektivitas, dari citra ke substansi, dan dari janji ke realisasi.Lubuklinggau tidak butuh pembangunan yang indah dipandang, tetapi yang benar-benar dirasakan oleh rakyatnya. (*)