Oleh: Mirwan Batubara (Ketua Umum Pemuda Mandala Trikora( PMT) Kabupaten Musi Rawas.
Ada permainan yang tak tercatat dalam tata tertib DPRD Musi Rawas, namun berjalan begitu sistematis dan rapi: permainan anggaran.
Nama sarkastiknya di kalangan birokrat: “Poker DPRD.” Bukan permainan kartu, melainkan Proyek, Konsumsi, dan Rapat — tiga serangkai sakral yang setiap tahun menjadi ritual pembakaran uang rakyat.
Bukan rahasia, setiap notulen rapat, perjalanan dinas, atau “kegiatan peningkatan kapasitas” di baliknya selalu ada anggaran yang bisa dicairkan. Dan di situlah, uang publik berubah menjadi aset pribadi yang sah secara administratif namun cacat secara moral.
Rakyat hanya penonton dalam drama yang sama: rapat disusun, risalah dibuat, tanda tangan digilir, uang cair, laporan selesai. Begitulah siklusnya — pura-pura sibuk, lalu tagih anggaran.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menemukan kejanggalan senilai Rp22,04 miliar pada Sekretariat DPRD Musi Rawas Tahun Anggaran 2023.
Namun, seperti biasa, temuan itu dipoles dengan kalimat penenang: “perlu perbaikan administrasi.”Padahal dalam bahasa hukum keuangan negara, itu indikasi nyata perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU 31/1999 tentang Tipikor.
Tak mungkin uang sebesar itu berputar tanpa pengetahuan unsur pimpinan. Kalau bukan turut mengatur, minimal membiarkan. Dan dalam hukum publik, pembiaran adalah bentuk partisipasi pasif dalam pelanggaran.
“Poker anggaran” adalah teknologi lama korupsi gaya baru. Semua tampak sah — kuitansi lengkap, absen hadir ada, dokumentasi rapi — tapi substansinya nihil. Seolah rakyat membayar pejabat untuk memproduksi notulen kosong.
Setiap tahun, istilah “poker” beredar dari bibir ke bibir, di kantor, di warung kopi, di kalangan wartawan lokal. Namun tak banyak yang berani menuliskannya, karena tahu permainan ini dijaga oleh koalisi diam: eksekutif yang permisif legislatif yang rakus, dan aparat yang ragu.
Padahal temuan BPK itu bukan sekadar “catatan koreksi”, melainkan alat bukti awal (prima facie evidence) yang sah untuk memulai penyelidikan.
Tetapi Kejaksaan tampak memilih posisi “menunggu laporan resmi”, seolah suara BPK bukan jeritan hukum, melainkan bisikan administrasi.
Ironinya, hukum sering melambat ketika menghadapi kekuasaan,sementara uang berlari kencang ketika menyusuri jalur politik. Itulah mengapa kasus-kasus semacam ini terus berulang: laporan audit jadi arsip, bukan alarm.
Hukum sudah menegaskan, Bahwa pimpinan DPRD tidak boleh kebal dari pemeriksaan hukum. Kejaksaan Negeri Musi Rawas harus memanggil Sekwan, Bendahara, dan unsur pimpinan dewan tanpa tebang pilih. Keadilan tidak akan tegak bila hukum takut menatap pejabat.
Dalam sistem demokrasi lokal, rakyat memberi mandat agar wakilnya mengawasi anggaran. Namun di Musi Rawas, anggaran justru menjadi alat permainan para wakil yang seharusnya menjadi fungsi kontrol, berubah menjadi fungsi konsumsi dan Penikmat.
Ketika rapat dijadikan ladang, dan perjalanan dinas menjadi tambang, demokrasi kehilangan maknanya — tinggal seremonial tanda tangan dan honorarium kegiatan. Semuanya legal, tapi sesat secara moral.
Sebagian media bahkan ikut menaburkan gula pada luka ini, menulis dengan manis: “Kunjungan kerja DPRD untuk peningkatan kapasitas.”Padahal rakyat tahu, yang meningkat hanyalah kapasitas rekening pribadi.
Temuan BPK Rp22 miliar ini bukan sekadar angka,melainkan cermin rusaknya tata kelola anggaran daerah. Jika dibiarkan, Musi Rawas akan menjadi contoh buruk di mana hukum tunduk pada basa-basi.
Hentikan kebisuan kolektif!Kejaksaan harus turun, bukan sekadar menonton. Karena setiap rupiah uang rakyat yang lenyap tanpa manfaat adalah penghinaan terhadap konstitusi dan akal sehat bangsa.“Rakyat Musi Rawas tidak butuh klarifikasi, mereka butuh keberanian hukum.