
( Pro Sumsel) – Banyak orang bermimpi jadi kaya. Tapi sedikit yang berani melewati masa sulit seperti Elon Musk — tidur di kantor, hidup dari utang, tapi tetap percaya bahwa idenya akan mengubah dunia.
Di balik gemerlap mobil listrik Tesla dan roket SpaceX yang menembus langit, ada kisah seorang pria yang dulu hidup dengan penuh kegelisahan.
Elon Musk — anak kurus dari Afrika Selatan — tumbuh dalam keluarga yang penuh tekanan.
Ia sering di-bully di sekolah, bahkan pernah dipukuli sampai pingsan oleh teman-temannya.
Namun di tengah kesepian itu, ia menemukan pelarian: komputer.Pada usia 12 tahun, Musk menulis kode game sederhana bernama Blastar — dan menjualnya.
Sejak itu, ia tahu satu hal:“Aku tak ingin sekadar hidup di dunia. Aku ingin mengubahnya.”
Setelah pindah ke Amerika, ia belajar fisika dan ekonomi. Tapi tak lama setelah diterima di Stanford untuk program doktor, ia keluar. Bukan karena malas — tapi karena ia merasa dunia nyata bergerak lebih cepat daripada ruang kuliah.
Bersama saudaranya, ia mendirikan Zip2 — perusahaan kecil yang menyediakan peta digital untuk surat kabar. Tidur di kantor, mandi di toilet umum, makan seadanya.Tapi dari situlah semuanya dimulai.
Empat tahun kemudian, perusahaannya dibeli seharga ratusan juta dolar. Namun uang bukan tujuannya. Ia ingin sesuatu yang lebih gila. Ia mendirikan X com, yang kelak menjadi PayPal, lalu menjualnya.
Dengan uang itu, Musk melakukan hal yang dianggap mustahil —menginvestasikan seluruh hartanya untuk dua proyek yang orang sebut “gila”: Tesla dan SpaceX.
Roketnya gagal tiga kali. Tesla hampir bangkrut. Ia kehabisan uang, hidup dari pinjaman teman, dan tidur di pabrik mobilnya sendiri.Tapi Musk tidak menyerah.“Aku tak peduli jika semuanya hilang, asalkan aku masih bisa berdiri dan mencoba lagi.”
Di percobaan keempat, roketnya berhasil terbang. Hari itu, seluruh dunia menatap langit —dan nama Elon Musk tercatat dalam sejarah. Kini, ia dikenal sebagai salah satu orang paling berpengaruh di dunia.Tapi kalau ditanya rahasianya, jawabannya sederhana:“Aku hanya menolak untuk berhenti.”
Kadang, kita hanya butuh satu hal untuk tetap melangkah — percaya pada mimpi kita sendiri, bahkan ketika semua orang meragukannya. (*)
