
Oleh : Mirwan Batubara
Musi Rawas – Kasus yang menimpa Yatman bin Iran, petani sawit di Desa Lubuk Ngin Lama Baru, Kecamatan Selangit, Kabupaten Musi Rawas, bukan sekadar perkara pencurian ringan. Ia adalah indikator telanjang kriminalisasi petani dan cermin kegagalan negara melindungi warganya dari kekerasan hukum yang bekerja atas nama kepentingan korporasi.
Yatman diproses pidana bukan karena merampok, bukan karena merusak, melainkan karena membersihkan kebun sawit miliknya sendiri. Kebun itu diapit areal perkebunan PT Evans Lestari. Saat membersihkan lahan, ia menemukan lima janjang sawit bertangkai busuk, tergeletak tanpa pengawasan dan jelas telah lama ditelantarkan. Dalam realitas lapangan, sawit seperti itu lazim dianggap sisa panen tak bertuan.
Lebih ironis lagi, berondolan sawit perusahaan selama ini berserakan dan bahkan tumbuh di lahan warga, termasuk kebun Yatman, tanpa pernah ada penertiban, kompensasi, atau tanggung jawab lingkungan dari perusahaan.
Pembiaran ini berlangsung lama, terbuka, dan diketahui banyak pihak. Namun anehnya, ketika warga membersihkan kebunnya sendiri, hukum justru turun dengan wajah paling represif.
Pola penindakannya patut dicurigai. Begitu sawit dimasukkan ke dalam karung, Yatman langsung disergap dan ditangkap. Tidak ada teguran, tidak ada klarifikasi, tidak ada ruang dialog. Penindakan seketika ini sulit disebut kebetulan.
Publik wajar bertanya: apakah hukum ditegakkan, ataukah jebakan sengaja dipasang untuk menjerat petani?Vonis satu bulan penjara atas 40 kilogram sawit adalah tamparan keras bagi akal sehat.
Di saat kejahatan korporasi bernilai miliaran—perusakan lingkungan, konflik agraria, hingga pengemplangan kewajiban sosial—sering berakhir tanpa hukuman setimpal, seorang petani justru dipenjara karena sawit busuk yang dibiarkan perusahaan sendiri. Inilah wajah klasik hukum kita: galak terhadap yang lemah, jinak terhadap pemilik modal.
Prinsip ultimum remedium dikubur. Keadilan restoratif diabaikan. Konteks sosial dianggap tidak relevan. Hukum dijalankan seperti mesin dingin yang hanya mengenal pasal, tanpa nurani dan tanpa keberpihakan pada keadilan substantif. Dalam kondisi seperti ini, pengadilan tidak lagi terasa sebagai benteng terakhir keadilan, melainkan perpanjangan tangan kekuasaan.
Kasus Yatman bukan anomali. Ia adalah pola. Di banyak wilayah sawit, petani hidup di bawah bayang-bayang kriminalisasi permanen. Membersihkan kebun, memungut sisa panen, atau sekadar bersengketa batas lahan bisa sewaktu-waktu berubah menjadi perkara pidana. Preseden ini berbahaya karena mengubah petani menjadi tersangka di tanahnya sendiri.
Karena itu, evaluasi total wajib dilakukan. Aparat penegak hukum harus menjelaskan dasar penangkapan yang tergesa-gesa. Perusahaan harus dimintai pertanggungjawaban atas pembiaran sawit berserakan di lahan warga. Negara harus memastikan hukum tidak diperalat untuk melindungi kepentingan modal sambil mengorbankan rakyat kecil.
Jika dugaan jebakan dan kriminalisasi ini dibiarkan, maka pesan yang dikirim negara sangat jelas dan sangat berbahaya: petani tidak aman, bahkan di kebunnya sendiri. Empat puluh kilogram sawit mungkin kecil nilainya, tetapi ketika ia dijadikan alasan memenjarakan seorang warga dengan proses yang patut dipertanyakan, maka yang sesungguhnya sedang dirampas adalah martabat hukum dan kepercayaan publik terhadap negara.
Dan ketika hukum kehilangan martabatnya, ia tak lagi pantas disebut sebagai keadilan—melainkan sekadar alat kekuasaan. (*)
