
Lubuk Linggau – (Pro Sumsel) – Mirwan Batubara, seorang kritikus yang tak gentar menunjuk borok, melemparkan palu godam ke wajah Lubuklinggau. Sebuah kota yang, menurutnya, kini tak lebih dari arena sirkus hukum—di mana papan nama “kafe” mampu menyulap diskotek bising menjadi rumah minum teh nan syar’i di atas kertas. Ini bukan lagi soal kelalaian, melainkan kamuflase legal yang begitu transparan hingga kacamata kuda pun akan merasa terhina. Hukum, alih-alih tegak, justru tampil sebagai badut yang dipertontonkan. Bahkan peribahasa “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” terasa usang, karena faktanya hukum kita lebih sering memamerkan komedi pilu nan absurd.
Faktanya, tulis Mirwan, sungguh tak tahu malu. Malam-malam yang diramaikan dentuman DJ, sorot strobo, dan minuman keras, dengan entengnya berubah menjadi “kafe” di mata administrasi. Diskotek—yang seharusnya tunduk pada regulasi ketat dan tarif pajak hiburan jauh lebih tinggi (bisa mencapai 40–75 persen)—kini bersembunyi di balik izin restoran yang hanya dikenai pajak 10 persen. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum; ini adalah pemerkosaan hukum secara sistematis dengan surat izin sebagai pembenaran.
Makassar, Pekanbaru, hingga Palangkaraya juga menghadapi masalah serupa, di mana “kafe” menjadi kedok diskotek ilegal yang merajalela. Mirisnya, bahkan ada pemilik kafe di Mesir yang disidak namun ngotot mengklaim usahanya “ramah keluarga”, meski operasionalnya tak ubahnya diskotek.
Mungkin mereka memiliki definisi keluarga yang gemar dugem hingga dini hari.Yang lebih menyayat adalah kesadaran kolektif nan memuakkan. Semua tahu. Warga tahu, aparat tahu, pemerintah tahu. Namun keberanian untuk bertindak lenyap seperti buih sabun di tengah badai. Ketegasan diperlakukan sebagai risiko politik yang harus dihindari, seolah kursi jabatan lebih berharga daripada marwah hukum. Pembiaran, dengan wajah tanpa dosa, dipoles menjadi “stabilitas”.
Di sinilah, kata Mirwan, negara mulai kehilangan celana dan martabatnya—bukan karena tak punya aturan, melainkan karena enggan menggunakannya. Sejarah mencatat, ketika pemerintah lebih takut pada kegaduhan daripada pada ketidakadilan, hukum berubah menjadi ornamen belaka: hiasan dinding tanpa daya paksa. Mengutip Kompasiana, “Satire Hukum di Indonesia (Lebih Lucu dari OVJ)”, karena memang tak ada komedian yang mampu mengalahkan lucunya drama penegakan hukum di negeri ini.
Masalah ini, tegas Mirwan, jauh melampaui sekadar hiburan malam. Ini adalah cermin buram tentang siapa yang sesungguhnya mengendalikan kota: pasal-pasal undang-undang atau kepentingan yang lihai berganti topeng. Jika sebuah diskotek cukup mengganti nama menjadi “kafe” untuk lolos dari kewajiban hukum dan fiskal, maka yang runtuh bukan hanya peraturan daerah, melainkan wibawa negara di tingkat paling dasar.
Provinsi Sumatera Selatan sesungguhnya kerap menertibkan tempat hiburan malam tak berizin. Namun kasus Lubuklinggau menunjukkan bahwa persoalannya bukan ketiadaan aturan, melainkan ketiadaan nyali. Ironisnya, di tengah polemik kafe berkedok diskotek yang merugikan negara hingga jutaan rupiah, pemerintah justru serius membahas royalti suara kicau burung yang diputar di kafe—seolah royalti kicau burung lebih sakral daripada kewajiban pajak diskotek ilegal. Bahkan di Quora muncul celetukan soal royalti musik: “Bahkan suara burung pun disuruh bayar.” Sebuah satire nyata tentang prioritas hukum di Indonesia.
Selama dentuman DJ masih lebih lantang daripada suara penegakan hukum, Lubuklinggau akan terus mengirim pesan berbahaya: bahwa hukum bukan untuk ditegakkan, melainkan untuk diakali, dikangkangi, dan diperolok-olok. Dan ketika negara terbiasa dikalahkan oleh kamuflase, jangan heran jika kepercayaan publik pergi tanpa pamit—meninggalkan kekuasaan yang tinggal sekumpulan badut tanpa audiens.
Melihat fenomena ini, pantas dipertanyakan: apakah para “badut” di pemerintahan lebih takut pada kemarahan pemodal ketimbang pada kemarahan rakyat?
Penulis adalah aktivis silampari
