
Musi Rawas — prosumsel.com,- Pemuda Mandala Trikora (PMT) melalui Ketua Umum Mirwan Batubara mendesak Kejaksaan Negeri Musi Rawas (Kejari Mura) untuk segera memproses hukum temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp22 miliar di Sekretariat DPRD Kabupaten Musi Rawas.
Temuan tersebut diduga kuat mengandung unsur penyimpangan anggaran dan potensi tindak pidana korupsi, namun hingga kini belum ada langkah penegakan hukum yang nyata.
Mirwan menilai, diamnya penegak hukum terhadap temuan BPK merupakan bentuk kelalaian konstitusional dan pelanggaran terhadap prinsip due process of law.
Negara hukum tidak memberi ruang bagi “diam yang disengaja”, terlebih ketika diam itu melindungi dugaan kejahatan anggaran rakyat.
Kejaksaan bukan lembaga penonton, tetapi pelaksana keadilan. Jika jaksa memilih diam, maka yang dibungkam bukan hanya laporan BPK, tapi suara konstitusi itu sendiri,” tegas Mirwan dengan nada sarkastik.
Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun 2023, ditemukan penyimpangan anggaran sebesar Rp22 miliar di Sekretariat DPRD Musi Rawas.
Pelanggaran tersebut meliputi kelebihan bayar kegiatan, belanja yang tidak sesuai ketentuan, dan pertanggungjawaban fiktif. Namun, tidak ada tanda-tanda tindak lanjut hukum terbuka dari Kejaksaan.
Mirwan mengingatkan, temuan BPK bukan sekadar opini audit, tetapi dokumen hukum negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Setiap aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti temuan berindikasi pidana paling lambat 60 hari setelah diterima.
Ketika 60 hari berubah menjadi 600 hari tanpa tindakan, itu bukan kelalaian, tapi pembiaran yang dibungkus istilah koordinasi,” sindir Mirwan tajam.
PMT menegaskan, pengabaian terhadap tindak lanjut hasil audit BPK merupakan maladministrasi hukum dan pelanggaran kewajiban jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam sistem hukum pidana, Kejaksaan memiliki fungsi dominus litis (pengendali perkara); kegagalannya menindak temuan audit dapat dikualifikasi sebagai obstruction of justice dalam ranah administratif.
Jaksa tak boleh bersembunyi di balik alasan koordinasi. Diam terhadap bukti sama dengan ikut menulis bab pembiaran dalam kitab korupsi daerah, ujar Mirwan menekan.
Mungkin laporan BPK kini sudah tahu diri. Ia tak lagi berharap ditindak, cukup disimpan rapi di lemari pejabat. Sebab di negeri yang hukum bisa dinegosiasikan, keadilan sering dijual dalam bentuk diam.
PMT menilai, Rp22 miliar bukan sekadar angka di kertas laporan, tapi cermin dari bobolnya etika pengelolaan keuangan negara.
Ketika hukum tidak lagi berfungsi sebagai penegak kebenaran, ia berubah menjadi dekorasi dalam upacara — indah di podium, kosong di tindakan.
Bukan rakyat yang kehilangan kepercayaan, tapi hukum yang kehilangan rasa malu,” tambah Mirwan dengan nada getir.
PMT secara tegas menuntut agar:
1. Kejari Musi Rawas bersama Kejati Sumsel segera membuka penyelidikan atas temuan BPK Rp22 miliar di Sekretariat DPRD Musi Rawas.
2. Memanggil Sekwan, Bendahara, dan pejabat pelaksana kegiatan yang tercantum dalam LHP BPK.
3. Memublikasikan hasil tindak lanjut audit kepada publik, sesuai Pasal 20 ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dan Peraturan BPK No. 2 Tahun 2017 tentang Pemantauan Tindak Lanjut.
Negara yang membiarkan temuan BPK tanpa proses hukum sama saja menulis pasalnya di atas kertas korupsi. Jika jaksa tak lagi menegakkan hukum, maka rakyat akan menegakkan ingatan — bahwa keadilan pernah dipasung di meja jaksa, tutup Mirwan Batubara. (Rls)
